Langsung ke konten utama

Instrumen ham Nasional dan Internasional

BAB I
PENDAHULUAN

Muhammad Amin
A.    Latar Belakang

Istilah Hak Asasi manusia tidak saja terkonsep secara teoritis, namun diimplikasikan dalam mewujudkan kewajiban negara dalam melindungi kepentingan hak-hak warga negara-nya, guna mengembalikan dan mempertinggi harkat serta martabat manusia maka usaha penegakan HAM menjadi begitu urgentif. Urgensi ini tidak lain karena disebabkan oleh makna bahwa manusia tidak dapat mempertinggi derajat-nya tanpa adanya perlindungan terhadap hak-hak kemanusian-nya.[1] Sehingga dalam upaya penegakan Hak Asasi Manusia membutuhkan instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia yang digunakan sebagai rambu-rambu dalam menentukan kebijakan HAM, menyinggung soal instrumen Hak Asasi Manusia Indonesia telah melakukan ratifikasi instrumen internasional HAM guna mendapatkan instrumen yang sesuai dengan identitas bangsa Indonesia. Perlu dicatat bahwa instrumen Hak Asasi Manusia tidak serta merta dianggap mampu menjaga dan melindungi hak-hak manusia, karena keberhasilan dalam menciptakan kehidupan yang humanis perlu diimbangi dengan realisasi oleh pemerintah secara berkesinambungan.
Universalitas hak asasi manusia sebagai sebuah konsep yang sejalan dengan  kecenderungan dan insting manusia dimana-pun yang memerlukan perlindungan  dan  aktualisasi hak-hak asasinya, sebagai sesuatu yang merupakan rumusan berbagai  hak  dasar yang inheren dalam diri setiap manusia tanpa membedakan budaya dan sejarah  dari masing-masing manusia. Hak asasi tersebut tidak sejalan dengan kecenderungan  dan  naluri manusia sebagai human being didalam setiap masyarakat yang ada, sehingga pemahaman akan instrumen HAM dirasa sebagai salah satu hal yang cukup krusial untuk dimaknai secara benar dan tepat ditengah-tengah isu-isu wacana HAM pun bermunculan maka untuk itu instrumen Hak Asasi Manusia dianggap sebagai jawaban dari tuntutan dunia akan subtansi Hak Asasi Manusia yang sebenarnya.
Tulisan ini akan menjelaskan secara umum bagaimana instrumen Hak Asasi Manusia internasional dan bagaimana implikasinya bagi perkembangan HAM di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Instrumen Hak Asasi Manusia sebagai Sumber Hukum Nasional dan Internasional
Secara sederhana kata instrumen dapat diartikan sebagai alat dan landasan sesuatu, sedangkan kata Hak Asasi Manusia human rights yang secara teoritis berarti hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Swt atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugrah Ilahi. Dengan demikian hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, dengan begitu hak asasi manusia bersifat luhur dan suci.[2]
Proses globalisasi yang begitu cepat tidak saja terfokus pada sektor ekonomi melainkan pada persoalan politik, iptek, sosial, hukum, dan budaya proses globalisasi yang terjadi di bidang politik tidak terlapas dari pergerakan HAM yakni keterbukaan dan demokratis. Dengan cepatnya arus global mengenai pergerakan HAM mengharuskan Indonesia untuk menggabungkan instrumen-insrumen HAM internasional yang diakui oleh negara-negara PBB kedalam hukum positif Indonesia dan tentunya sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia dengan memperkuat lembaga masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat pada umumnya yang bertugas memainkan peran dalam memelihara dan melindungi kepentingan HAM. Dengan menerapkan instrumen HAM internasional maka akan membatasi ruang gerak pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep yang awalnya bernuansa teologis, filsosofis, moralistik, dan ideologis perlahan demi perlahan berubah ke-arah yang lebih modern dan cenderung bersifat yuridik dan politis dikarenakan instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum internasional baik itu tertulis maupun tidak tertulis, instrumen-instrumen ini yang nantinya akan mewajibkan negara-negara PBB (perserikatan bangsa-bangsa) untuk merapakannya yang  sebagian diterapkan secara yuridik dan sebagian lagi diterapkan secara formal meskipun negara anggota belum melakukan ratifikasi secara resmi.[3] Hak asasi manusia diyakini memiliki nilai yang universal, berarti hak asasi manusia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian nilai universal ini coba diartikan dalam berbagai produk hukum nasional di beberapa negara untuk dapat melindungi hak-hak kemanusian, nilai-nilai HAM yang bersifat universal ini dibukukan dalam instrumen internasional HAM, namun implementasi maupun realisasi nilai-nilai universal hak asasi manusia tidak sejalan dengan konsep dan kebijakan yang telah diterapkan di berbagai negara khususnya Indonesia.
Perbedaan karakteristik di berbagai negara atau sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh suatu negara telah membuktikan bahwa negara-negara didunia memiliki perbedaan di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya hukum sebagai akibat terjadi ketidakseragaman pelaksanaan maupun pemahaman terhadap nilai-nilai HAM khususnya di tengah-tengah masyarakat, ada beberapa faktor yang mengisyaratkan akan adanya perjanjian internasional di bidang hak asasi manusia yakni;
1.      Perancangan dan pembentukan perjanjian internasional di bidang HAM yang sangat terdevisiasi oleh kerangka berfikir framework of thinking dari tokoh pemikirnya
2.      Adanya kendala saat perjanjian internasional diperdebatkan.
3.      Dalam perjanjian internasional hak asasi manusia tidak semata dilandasi atas rasa ingin menggali nilai-nilai kamanusian melainkan karena kepentingan politik
4.      Hasil dari Perjanjian internasional di bidang HAM dipandang tidak berjalan efektif di beberapa negara-negara berkembang.[4]
Dalam perjanjian internasional, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 38 (1) Statuta International Court of Justice (ICJ) dinyatakan: “konvensi (perjanjian) internasional, yang bersifat umum dan khusus, yang menetapkan norma hukum yang diakui oleh negara pihak yang terlibat merupakan sumber utama dalam hukum internasional hak asasi manusia”Pasal 38 (1) ICJ juga menguraikan kebiasaan internasional sebagai praktik umum yang dilakukan, yang dapat diterima dan disebut sebagai hukum, dengan syarat paling tidak memenuhi 2 unsur, yakni unsur materiil berupa praktik pengulangan tindakan, sehingga bisa dikualifikasikan sebagai kebiasaan, serta unsur psikologis di mana tindakan itu memang sudah seharusnnya dilakukan untuk pemenuhan kewajiban yuridis yang tidak termuat dalam norma tertulis atau disebut opinio iuris sivenenecessitatis.
Prinsip prinsip umum hukum yang diakui bangsa-bangsa beradab, juga dimuat dalam Pasal 38 (1) ICJ, sebagai sumber hukum internasional HAM. Prinsip-prinsip umum hukum ini merupakan prinsip yang bersifat mendasar sehingga harus diadopsi menjadi bagian dari tata hukum, walaupun prinsip ini tidak dimuat dalam peraturan secara eksplisit, misalnya persamaan perempuan dan laki laki. Prinsip umum ini, juga disebut sebagai ius cogens, dimana peraturan-peraturan yang dibuat tidak diperbolehkan menyimpang dari prinsip hukum umum. Keputusan yudisial dan ajaran para ahli hukum, sebagai sumber hukum internasioanl HAM juga dinyatakan oleh Pasal 38 (1) ICJ.Dalam konteks ini putusan yang ditetapkan oleh Mahkamah Pengadilan Internasional (ICJ), mempunyai posisi khusus, sebagai putusan yang dapat dijadikan sumber hukum internasional. Selain keempat sumber hukum tersebut, keputusan-keputusan organisasi internasional juga dapat disebut sebagai sumber hukum internasional yang penting dalam HAM, terutama disebabkan dapat munculnya hak dan kewajiban internasional di bidang HAM. Sebagai contoh, resolusi-resolusi yang diadopsi dan ditetapkan Majelis Umum (General Assembly-GA) , Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council-ECOSOC) atau Komisi Hak hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights-CHR) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).[5]
B.     Jejak Instrumen HAM pasca era Reformasi
Pasca reformasi berbagai instrumen hak asasi manusia pun lahir pertama,  TAP MPR No. XVII/MPR/1998 mengenai HAM, ketetapan ini merupakan isyarat akan kuatnya tuntutan terhadap penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia ini tidak hanya termuat dalam piagam HAM tetapi juga kepada Presiden dan lembaga tinggi negara sekaligus diamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional yang berkaitan dengan pemenuhan jaminan Hak Asasi Manusia.[6]
Kedua UUD 1945, instrumentasi Hak asasi manusia yang terjadi pasca amandemen 1999, 2000, 2001,dan 2002 ini perubahan yang cukup signifikan-pun dialami oleh bangsa Indonesia hal itu terlihat dimana pasal tentang HAM terletak pada bab tersendiri yaitu pada bab XA yang didalamnya terdapat 26 butir hal yang berkaitan dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia jika dicermati instrumen hukum Hak asasi Manusia setelah amandemen UUD 1945 telah bersinergi perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia dari tiga generasi HAM pertama (hak sipil dan politik), kedua (hak sosial dan ekonomi), ketiga (Hak kategori kolektif), akan tetapi amandemen UUD 1945 menuai banyak kecaman salah satunya dimuatnya asas non retroaktif yaitu asas yang tidak dapat dituntut hukum yang tidak berlaku surut padahal Indonesia mengalami tuntutan penyelesaian Hak Asasi Manusia pada masa lalu.[7]
Ketiga UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang merupakan instrumen pokok yang menjamin seluruh hak yang ada di berbagai instrumen internasional HAM. Undang-undang ini mencakup pemenuhan dan perlindungan HAM secara luas karena merujuk pada kategorisasi hak yang ada pada UDHR, ICCPR, CRC, dan beberapa lembaga dunia lainnya selain itu undang-undang ini juga mengatur tentang lembaga komnas HAM, meskipun Undang-undang ini memiliki kelemahan mendasar yakni ketidakpahaman dan masih meletakkan kewajiban Hak Asasi Manusia yang semestinya menjadi arena hukum pidana Undang-undang ini tidak memilah antara konsepsi HAM dan hukum pidana sehinggan terjadi pengkaburan dalam pertanggung-jawaban hukumnya.
Keempat  UU No 26 Tahun 2000, yang mengatur tentang perbuatan pidana, pengaturan soal hukum acara proses pengadilan HAM, namun Undang-undang ini memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak diaturnya persoalan kejahatan genosida yang merupakan kejahatan internasional dan ditangani langsung oleh Mahkamah Internasional.
Kelima UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, dalam Undang-undang ini disebutkan secara tegas tentang pelarangan bagi setiap anak untuk hadir dalam berbagai kegiatan orang dewasa seperti; sengketa, politik(kampanye), persenjataan, dan kerusuhan-keruhan masa.[8]
C.    Ratifikasi Instrumen Internasional
perjanjian dapat dinyatakan melalui berbagai cara, yaitu penandatanganan, pertukaran instrumen yang membentuk perjanjian, ratifikasi, akseptasi, approval dan aksesi atau melalui cara lain yang disetujui. Ratifikasi diartikan dengan penerimaan (acceptance) dan pengikut-sertaan (accesion) sebagai tindakan internasional dari suatu negara yang menyatakan kesepakatan dirinya untuk terikat pada suatu perjanjian. Meskipun demikian, dilihat dari segi nasional ratifikasi dapat diartikan sebagai tindakan pengesahan atas suatu perjanjian internasional menurut ketentuan hukum nasional yang bersangkutan.[9] Indonesia sebagai negara anggota PBB, yang menyatakan sebagai negara berkedaulatan rakyat (demokratis) dan negara hukum. Persoalan HAM perlu mendapat perhatian dan perlindungan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia telah meratifikasi beberapa instrumen internasional tentang HAM. Ratifikasi dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-undang dan Keputusan Presiden. Sampai tahun 2006, terdapat 6 instrumen  internasional tentang HAM yang telah diratifikasi,[10] dan 17 instrumen ILO yang berkaitan dengan hak-hak perburuhan.
Indonesia hingga saat ini telah meratfikasi sebanyak enam instrumen Hak Asasi Manusia internasional diantaranya; pertama, UU No 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan semua Bentuk Diskriminasi Rasial (Internasional Convention on the Elimination of Racial Descimination,1965); kedua, UU No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,1966); ketiga, UU No 22 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights, 1966); keempat, UU No 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, 1979); kelima, UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang merendahkan Martabat, Tidak Manusiawi dan Kejam lainnya (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment,1984); keenam, Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on Rights of the Child, 1989). [11]
Jika dilihat dari sudut pandang normatif instrumen pokok internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia memberikan andil cukup besar bagi perkembangan HAM di Indonesia, hal ini ditunjukkan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah sebagai panduan praktek Hak Asasi Manusia di Indonesia selain itu juga terbentuknya beberapa lembaga HAM yang diharapkan bisa mengawal pelaksanaan HAM di Indonesia di tengah masih banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia hal ini tidak lain dikarenakan beberapa faktor diantaranya; 1) belum tersosialisasikan secara merata ke semua komponen akan instrumen Hak Asasi Manusia yang sudah diratifikasi, 2) instrumen Hak Asasi Manusia Internasional tersebut subatansinya tidak sepenuhnya mencerminkan kepentingan nasional, 3) tidak adanya komitmen dari pemerintah dan masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia.[12] Selain melakukan ratifikasi pada instrumen HAM internasional Indonesia juga melakukan perubahan mendasar seperti dengan mengamandemen UUD 1945 yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia sehingga menjadi komprehensif dan sesuai dengan standar Hak Asasi manusia, Sebenarnya mendengar istilah“hak asasimanusia” biasanya banyak bayangan orang hanya tertuju pada hak-hak yang bersifat hak sipil   dan  pol i t ik,   seperti kebebasanberserikat, kebebasanberpendapat,  kebebasan  pers,  kebebasan  berpolitik, kebebasan beragama, bebas dari penyiksaan dan sebagainya. Padahal hak asasi yang bersifat ekonomi, sosial dan budaya, seperti halnya nasib kaum miskin dalam lingkungan  masyarakat sangat perlu dan sangat terkait juga  dengan  hak sipil dan politik. Artinya, benar bahwa Indonesia  telah  meratifikasi  berbagai instrumen hak-hak asasi manusia internasional, membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak-hak asasi, membentuk berbagai  lembaga  yang  terkait dengan perlindungan hak asasi,dan lain-lain, tetapi  ini semua  adalah  tindakan-tindakan yang bersifat prosedural formal, sehingga baru disebut HAM  prosedural.[13]

D.    Lembaga Pelindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Keberadaan lembaga  negara  tentu  tidak  dapat  dipisahkan  dari  amanat konstitusi  yang  setelah amandemen  di  era reformasi  juga  serius  memberikan perlindungan terhadap HAM. Mahfud M.D mengatakan, pada prinsipnya ada dua isi penting konstitusi, yaitu pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan atas HAM. Konstitusi memberikan pengaturan dan menentukan fungsi-fungsi lembaga negara agar tidak terjadi pelanggaran atas HAM. Setidaknya sampai hari ini, belum ada sistem yang diyakini lebih baik dari demokrasi, terutama dilihat dari caranya menempatkan atau memposisikan rakyat dalam konteks  bernegara. Demokrasi memposisikan  rakyat  secara  jelas  pada  tempat  yang paling menentukan.[14] Berikut adalah lembaga-lembaga HAM yang ada di Indonesia yaitu; (1), Mahkamah  Konstitusi  (MK) Mahkamah Konstitusi  berwenang menguji  Undang-Undang  terhadap  konstitusi  atau  dikenal  dengan constitutional review. Pelaksanaannya di Indonesia dan di berbagai negara, uji konstitusionalitas disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing),bahwa Undang-Undang yang akan  diuji  telah  merugikan hak atau wewenag konstitusional pemohon. (2), Komnas HAM merupakan badan yang ditugaskan meindungi dan memajukan Hak Asasi Manusia pada level internasional Komnas HAM menjadi mitra kerja Komisi HAM PBB di tingkat nasional (3), KPAI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, organisasi yang dibentuk sebagai respon dari laporan kekerasan yang terjadi terhadap anak di seluruh Indonesia (4), komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, tujuan dari lembaga ini adalah untuk merespon terjadinya pelanggaran yang dialami kaum wanita dan Tujuan pembentukan Komisi ini, pertama, mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia. Kedua, meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, (5) KY, Komisi Yudisial, KY berwenang untuk, pertama, mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR. Kedua, menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga prilaku hakim. Pada Pasal 17 ayat 3 dan 4 dinyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan informasi atau pendapat terhadap calon Hakim Agung, dan tugas KY ialah melakukan penelitian terhadap informasi dan pendapat yang disampaikan masyarakat.[15]



           


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Uraian di-atas menjelaskan bagaimana perbedaaan instrumen-instrumen Hak Asasi manusia yang ada didunia, Indonesia sebagai Negara dengan tingkat pelanggaran HAM terbesar membutuhkan instrumen sebagai alat yang mengatur dan menindak lanjuti pelaanggaran-pelanggaran yang terjadi. Instrumen-instrumen HAM internasional tidak serta merta langsung dijadikan landasan instrument HAM Indonesia melainkan melalui berbagai proses revisi hingga pada tahap ratifikasi, dengan sekian banyak Peundang-undangan yang mengatur kepentingan Hak Asasi  manusia dinilai sebagai langkah yang cukup baik namun, itu semua tidak terlepas dari realisasi atau implementasi yang tanggap terhadap pelanggaran HAM yang terjadi khususnya di Indonesia.
Pembentukan berbagai lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia adalah satu upaya untuk memonitoring kekerasan dan pelanggaran yang terjadi dan masing-masing lembaga memiliki tugas dan fungsi-nya masing-masing sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Perundang-undangan. Dengan demikian suasana Negara yang kondusif dan bebas dari isu-isu SARA akan mudah diwjudkan jika pemerintah dan elemen masyarakat saling bersinergi didalamnya.


KEPUSTAKAAN

Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum- Kelompok Kerja Ake Arif, 2006.

H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakikat Konsep dan Impilikasinya dalam Perspektif Hukum di Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Prima Yasa, 1996, Cet. I

Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, Depok: Lembaga Kriminologi UI, 1983.

M.Syafi’e, “Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM dan Peran Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, No. 4 Vol. 9 Desember 2012

Sri  Hastuti  PS, “Perlindungan HAM  dalam  Empat  Konstitusi  di  IndonesiaJurnal  Magister  Hukum  No.  1  Vol.  1  Januari  2005,  Universitas Islam Indonesia.

Yudha Yudha Bhakti Ardhiwisasatra, Hukum Internasional-Bunga Rampai, Bandung: Alumni, tt.

Sugiaryo, “ Ratifikasi Hak Asasi Manusia Internasional dan Ketaatan Suatu Negara dalam Praktek”, Widya Wacana.

Domu P. Sihitte, “ Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa ini”, Dignitas: Jurnal Hak Asasi Manusia, (Lembaga Studi Adokasi Masyarakat, ELSAM), Vol. VII No. 1 Tahun 2011.







[1] Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Prima Yasa, 1996, Cet. I), hal. 2
[2] Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Depok: Lembaga Kriminologi UI, 1983), hal. 8
[3] H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakikat Konsep dan Impilikasinya dalam Perspektif Hukum di Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 6
[4]Ibid, hal. 70-71
[5]Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum- Kelompok Kerja Ake Arif, 2006), hal 10
[6] M.Syafi’e, “Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM dan Peran Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, No. 4 Vol. 9 Desember 2012, hal. 688
[7] Sri  Hastuti  PS, “Perlindungan HAM  dalam  Empat  Konstitusi  di  IndonesiaJurnal  Magister  Hukum  No.  1  Vol.  1  Januari  2005,  Universitas Islam Indonesia,  h.  21-23

[8] M.Syafi’e, “Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga...., hal. 689
[9] Yudha Yudha Bhakti Ardhiwisasatra, Hukum Internasional-Bunga Rampai, (Bandung: Alumni, tt) hal. 110
[10] Adnan Buyung,  Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak.....,  hal 43
[11] Ibid, hal. 27-28
[12] Sugiaryo, “ Ratifikasi Hak Asasi Manusia Internasional dan Ketaatan Suatu Negara dalam Praktek”, Widya Wacana, hal. 124-127
[13] Domu P. Sihitte, “ Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa ini”, Dignitas: Jurnal Hak Asasi Manusia, (Lembaga Studi Adokasi Masyarakat, ELSAM), Vol. VII No. 1 Tahun 2011, hal 84-87
[14] M.Syafi’e, “Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga...., hal. 695
[15] Ibid, hal. 697

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Islam Progresive (Islam ke-arah kemajuan) Muhammad Amin Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam telah mengalami kemunduran yang cukup signifikan hal tersebut timbul bukan karena hal yang datang dari luar Islam namun berasal dari Islam itu sendiri. Istilah truth claim (klaim kebenaran) bukanlah hal yang baru bagi Islam jika kita melihat sejarah bagaimana umat Islam tercerai-berai dalam persoalan theologi (ketuhanan) yang melingkupi persoalan aqidah, iman dsb, hal tersebut dilatar belakangi oleh perbedaan pemahaman yang ada pada setiap golongan dan komunitas. Islam seakan hilang dari sebuah peradaban bahkan Islam pun tidak mampu menunjukan determinasinya untuk menjadi bagian dari sebuah kemajuan. Islam tertinggal jauh dalam berbagai bidang yang menjadi tuntutan dalam menjawab kepentingan umat Islam di-era global berbagai ekspektasi pun muncul dari umat islam itu sendiri beberapa tokoh Islam mencoba untuk membangun Islam secara kolektif seperti yang dilakukan oleh beberapa ulama ko