PENDAHULUAN
Muhammad
Amin
A.
Latar Belakang
Istilah Hak Asasi manusia tidak saja
terkonsep secara teoritis, namun diimplikasikan dalam mewujudkan kewajiban
negara dalam melindungi kepentingan hak-hak warga negara-nya, guna
mengembalikan dan mempertinggi harkat serta martabat manusia maka usaha
penegakan HAM menjadi begitu urgentif. Urgensi ini tidak lain karena disebabkan
oleh makna bahwa manusia tidak dapat mempertinggi derajat-nya tanpa adanya
perlindungan terhadap hak-hak kemanusian-nya.[1]
Sehingga dalam upaya penegakan Hak Asasi Manusia membutuhkan
instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia yang digunakan sebagai rambu-rambu dalam
menentukan kebijakan HAM, menyinggung soal instrumen Hak Asasi Manusia
Indonesia telah melakukan ratifikasi instrumen internasional HAM guna
mendapatkan instrumen yang sesuai dengan identitas bangsa Indonesia. Perlu
dicatat bahwa instrumen Hak Asasi Manusia tidak serta merta dianggap mampu
menjaga dan melindungi hak-hak manusia, karena keberhasilan dalam menciptakan
kehidupan yang humanis perlu diimbangi dengan realisasi oleh pemerintah secara
berkesinambungan.
Universalitas hak asasi manusia
sebagai sebuah konsep yang sejalan dengan
kecenderungan dan insting manusia dimana-pun yang memerlukan perlindungan
dan aktualisasi hak-hak asasinya,
sebagai sesuatu yang merupakan rumusan berbagai
hak dasar yang inheren dalam diri
setiap manusia tanpa membedakan budaya dan sejarah dari masing-masing manusia. Hak asasi
tersebut tidak sejalan dengan kecenderungan
dan naluri manusia sebagai human
being didalam setiap masyarakat yang ada, sehingga pemahaman akan instrumen HAM
dirasa sebagai salah satu hal yang cukup krusial untuk dimaknai secara benar
dan tepat ditengah-tengah isu-isu wacana HAM pun bermunculan maka untuk itu
instrumen Hak Asasi Manusia dianggap sebagai jawaban dari tuntutan dunia akan
subtansi Hak Asasi Manusia yang sebenarnya.
Tulisan ini akan menjelaskan secara
umum bagaimana instrumen Hak Asasi Manusia internasional dan bagaimana
implikasinya bagi perkembangan HAM di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Instrumen
Hak Asasi Manusia sebagai Sumber Hukum Nasional dan Internasional
Secara sederhana kata instrumen dapat diartikan sebagai alat dan
landasan sesuatu, sedangkan kata Hak Asasi Manusia human rights yang
secara teoritis berarti hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat
padanya sebagai insan ciptaan Allah Swt atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai
anugrah Ilahi. Dengan demikian hak asasi manusia merupakan hak-hak yang
dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya,
dengan begitu hak asasi manusia bersifat luhur dan suci.[2]
Proses globalisasi yang begitu cepat tidak saja terfokus pada sektor
ekonomi melainkan pada persoalan politik, iptek, sosial, hukum, dan budaya
proses globalisasi yang terjadi di bidang politik tidak terlapas dari
pergerakan HAM yakni keterbukaan dan demokratis. Dengan cepatnya arus global
mengenai pergerakan HAM mengharuskan Indonesia untuk menggabungkan
instrumen-insrumen HAM internasional yang diakui oleh negara-negara PBB kedalam
hukum positif Indonesia dan tentunya sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia
dengan memperkuat lembaga masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat pada
umumnya yang bertugas memainkan peran dalam memelihara dan melindungi
kepentingan HAM. Dengan menerapkan instrumen HAM internasional maka akan
membatasi ruang gerak pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsep yang awalnya bernuansa teologis, filsosofis, moralistik, dan ideologis
perlahan demi perlahan berubah ke-arah yang lebih modern dan cenderung bersifat
yuridik dan politis dikarenakan instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang
menyeluruh dan hukum internasional baik itu tertulis maupun tidak tertulis,
instrumen-instrumen ini yang nantinya akan mewajibkan negara-negara PBB
(perserikatan bangsa-bangsa) untuk merapakannya yang sebagian diterapkan secara yuridik dan
sebagian lagi diterapkan secara formal meskipun negara anggota belum melakukan
ratifikasi secara resmi.[3] Hak
asasi manusia diyakini memiliki nilai yang universal, berarti hak asasi manusia
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian nilai universal ini coba
diartikan dalam berbagai produk hukum nasional di beberapa negara untuk dapat
melindungi hak-hak kemanusian, nilai-nilai HAM yang bersifat universal ini
dibukukan dalam instrumen internasional HAM, namun implementasi maupun
realisasi nilai-nilai universal hak asasi manusia tidak sejalan dengan konsep
dan kebijakan yang telah diterapkan di berbagai negara khususnya Indonesia.
Perbedaan karakteristik di berbagai negara atau sifat-sifat khusus yang
dimiliki oleh suatu negara telah membuktikan bahwa negara-negara didunia
memiliki perbedaan di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya hukum sebagai
akibat terjadi ketidakseragaman pelaksanaan maupun pemahaman terhadap
nilai-nilai HAM khususnya di tengah-tengah masyarakat, ada beberapa faktor yang
mengisyaratkan akan adanya perjanjian internasional di bidang hak asasi manusia
yakni;
1.
Perancangan
dan pembentukan perjanjian internasional di bidang HAM yang sangat terdevisiasi
oleh kerangka berfikir framework of thinking dari tokoh pemikirnya
2.
Adanya
kendala saat perjanjian internasional diperdebatkan.
3.
Dalam
perjanjian internasional hak asasi manusia tidak semata dilandasi atas rasa
ingin menggali nilai-nilai kamanusian melainkan karena kepentingan politik
4.
Hasil dari
Perjanjian internasional di bidang HAM dipandang tidak berjalan efektif di
beberapa negara-negara berkembang.[4]
Dalam
perjanjian internasional, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 38 (1) Statuta International Court of Justice (ICJ) dinyatakan: “konvensi
(perjanjian) internasional, yang bersifat umum dan khusus, yang menetapkan
norma hukum yang diakui oleh negara pihak yang terlibat merupakan sumber utama
dalam hukum internasional hak asasi manusia”Pasal 38 (1) ICJ juga menguraikan
kebiasaan internasional sebagai praktik umum yang dilakukan, yang dapat
diterima dan disebut sebagai hukum, dengan syarat paling tidak memenuhi 2
unsur, yakni unsur materiil berupa praktik pengulangan tindakan, sehingga bisa
dikualifikasikan sebagai kebiasaan, serta unsur psikologis di mana tindakan itu
memang sudah seharusnnya dilakukan untuk pemenuhan kewajiban yuridis yang tidak
termuat dalam norma tertulis atau disebut opinio
iuris sivenenecessitatis.
Prinsip prinsip umum hukum yang diakui bangsa-bangsa
beradab, juga dimuat dalam Pasal 38 (1) ICJ, sebagai sumber hukum internasional
HAM. Prinsip-prinsip umum hukum ini merupakan prinsip yang bersifat mendasar
sehingga harus diadopsi menjadi bagian dari tata hukum, walaupun prinsip ini
tidak dimuat dalam peraturan secara eksplisit, misalnya persamaan perempuan dan
laki laki. Prinsip umum ini, juga disebut sebagai ius cogens, dimana peraturan-peraturan yang dibuat tidak
diperbolehkan menyimpang dari prinsip hukum umum. Keputusan yudisial dan ajaran para ahli hukum, sebagai
sumber hukum internasioanl HAM juga dinyatakan oleh Pasal 38 (1) ICJ.Dalam
konteks ini putusan yang ditetapkan oleh Mahkamah Pengadilan Internasional
(ICJ), mempunyai posisi khusus, sebagai putusan yang dapat dijadikan sumber
hukum internasional. Selain
keempat sumber hukum tersebut, keputusan-keputusan organisasi internasional
juga dapat disebut sebagai sumber hukum internasional yang penting dalam HAM,
terutama disebabkan dapat munculnya hak dan kewajiban internasional di bidang
HAM. Sebagai contoh, resolusi-resolusi yang diadopsi dan ditetapkan Majelis
Umum (General Assembly-GA) , Dewan
Ekonomi dan Sosial (Economic and Social
Council-ECOSOC) atau Komisi Hak hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights-CHR) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).[5]
B.
Jejak
Instrumen HAM pasca era Reformasi
Pasca reformasi berbagai instrumen hak asasi manusia pun lahir pertama, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 mengenai HAM,
ketetapan ini merupakan isyarat akan kuatnya tuntutan terhadap penyelesaian
pelanggaran Hak Asasi Manusia ini tidak hanya termuat dalam piagam HAM tetapi
juga kepada Presiden dan lembaga tinggi negara sekaligus diamanatkan untuk
meratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional yang berkaitan dengan pemenuhan
jaminan Hak Asasi Manusia.[6]
Kedua UUD 1945, instrumentasi Hak asasi
manusia yang terjadi pasca amandemen 1999, 2000, 2001,dan 2002 ini perubahan
yang cukup signifikan-pun dialami oleh bangsa Indonesia hal itu terlihat dimana
pasal tentang HAM terletak pada bab tersendiri yaitu pada bab XA yang
didalamnya terdapat 26 butir hal yang berkaitan dengan pemenuhan Hak Asasi
Manusia jika dicermati instrumen hukum Hak asasi Manusia setelah amandemen UUD
1945 telah bersinergi perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia dari tiga
generasi HAM pertama (hak sipil dan politik), kedua (hak sosial dan ekonomi),
ketiga (Hak kategori kolektif), akan tetapi amandemen UUD 1945 menuai banyak
kecaman salah satunya dimuatnya asas non retroaktif yaitu asas yang tidak dapat
dituntut hukum yang tidak berlaku surut padahal Indonesia mengalami tuntutan
penyelesaian Hak Asasi Manusia pada masa lalu.[7]
Ketiga UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang
merupakan instrumen pokok yang menjamin seluruh hak yang ada di berbagai
instrumen internasional HAM. Undang-undang ini mencakup pemenuhan dan
perlindungan HAM secara luas karena merujuk pada kategorisasi hak yang ada pada
UDHR, ICCPR, CRC, dan beberapa lembaga dunia lainnya selain itu undang-undang
ini juga mengatur tentang lembaga komnas HAM, meskipun Undang-undang ini
memiliki kelemahan mendasar yakni ketidakpahaman dan masih meletakkan kewajiban
Hak Asasi Manusia yang semestinya menjadi arena hukum pidana Undang-undang ini
tidak memilah antara konsepsi HAM dan hukum pidana sehinggan terjadi
pengkaburan dalam pertanggung-jawaban hukumnya.
Keempat UU No 26 Tahun 2000, yang mengatur tentang
perbuatan pidana, pengaturan soal hukum acara proses pengadilan HAM, namun
Undang-undang ini memiliki kelemahan mendasar yaitu tidak diaturnya persoalan
kejahatan genosida yang merupakan kejahatan internasional dan ditangani
langsung oleh Mahkamah Internasional.
Kelima UU No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak, dalam Undang-undang ini disebutkan secara tegas tentang
pelarangan bagi setiap anak untuk hadir dalam berbagai kegiatan orang dewasa
seperti; sengketa, politik(kampanye), persenjataan, dan kerusuhan-keruhan masa.[8]
C.
Ratifikasi
Instrumen Internasional
perjanjian dapat dinyatakan melalui berbagai cara, yaitu penandatanganan,
pertukaran instrumen yang membentuk perjanjian, ratifikasi, akseptasi, approval dan aksesi atau melalui cara
lain yang disetujui. Ratifikasi diartikan dengan penerimaan (acceptance) dan pengikut-sertaan (accesion) sebagai tindakan internasional dari suatu negara yang
menyatakan kesepakatan dirinya untuk terikat pada suatu perjanjian. Meskipun
demikian, dilihat dari segi nasional ratifikasi dapat diartikan sebagai
tindakan pengesahan atas suatu perjanjian internasional menurut ketentuan hukum
nasional yang bersangkutan.[9] Indonesia sebagai
negara anggota PBB, yang menyatakan sebagai negara berkedaulatan rakyat
(demokratis) dan negara hukum. Persoalan HAM perlu mendapat perhatian dan
perlindungan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia telah
meratifikasi beberapa instrumen internasional tentang HAM. Ratifikasi dilakukan
melalui peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-undang dan Keputusan
Presiden. Sampai tahun 2006, terdapat 6 instrumen internasional tentang HAM yang telah
diratifikasi,[10] dan 17 instrumen ILO yang berkaitan
dengan hak-hak perburuhan.
Indonesia hingga saat
ini telah meratfikasi sebanyak enam instrumen Hak Asasi Manusia internasional diantaranya;
pertama, UU No 29
Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan semua
Bentuk Diskriminasi Rasial (Internasional
Convention on the Elimination of Racial Descimination,1965); kedua, UU No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,1966);
ketiga, UU No 22 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights, 1966); keempat, UU No 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women, 1979); kelima,
UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Hukuman yang merendahkan Martabat, Tidak Manusiawi dan Kejam
lainnya (Convention against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment,1984); keenam,
Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on Rights of the Child, 1989).
[11]
Jika dilihat dari sudut
pandang normatif instrumen pokok internasional yang telah diratifikasi oleh
Indonesia memberikan andil cukup besar bagi perkembangan HAM di Indonesia, hal
ini ditunjukkan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah
sebagai panduan praktek Hak Asasi Manusia di Indonesia selain itu juga
terbentuknya beberapa lembaga HAM yang diharapkan bisa mengawal pelaksanaan HAM
di Indonesia di tengah masih banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia hal ini
tidak lain dikarenakan beberapa faktor diantaranya; 1) belum tersosialisasikan
secara merata ke semua komponen akan instrumen Hak Asasi Manusia yang sudah
diratifikasi, 2) instrumen Hak Asasi Manusia Internasional tersebut
subatansinya tidak sepenuhnya mencerminkan kepentingan nasional, 3) tidak
adanya komitmen dari pemerintah dan masih lemahnya penegakan hukum di
Indonesia.[12]
Selain melakukan ratifikasi pada instrumen HAM internasional Indonesia juga
melakukan perubahan mendasar seperti dengan mengamandemen UUD 1945 yang berkaitan
dengan Hak Asasi Manusia sehingga menjadi komprehensif dan sesuai dengan
standar Hak Asasi manusia, Sebenarnya mendengar istilah“hak asasimanusia”
biasanya banyak bayangan orang hanya tertuju pada hak-hak yang bersifat hak sipil dan
pol i t ik, seperti
kebebasanberserikat, kebebasanberpendapat,
kebebasan pers, kebebasan
berpolitik, kebebasan beragama, bebas dari penyiksaan dan sebagainya.
Padahal hak asasi yang bersifat ekonomi, sosial dan budaya, seperti halnya
nasib kaum miskin dalam lingkungan
masyarakat sangat perlu dan sangat terkait juga dengan
hak sipil dan politik. Artinya, benar bahwa Indonesia telah
meratifikasi berbagai instrumen
hak-hak asasi manusia internasional, membuat peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan hak-hak asasi, membentuk berbagai lembaga
yang terkait dengan perlindungan
hak asasi,dan lain-lain, tetapi ini
semua adalah tindakan-tindakan yang bersifat prosedural
formal, sehingga baru disebut HAM
prosedural.[13]
D.
Lembaga
Pelindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Keberadaan lembaga negara
tentu tidak dapat
dipisahkan dari amanat konstitusi yang
setelah amandemen di era reformasi
juga serius memberikan perlindungan terhadap HAM. Mahfud
M.D mengatakan, pada prinsipnya ada dua isi penting konstitusi, yaitu
pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan atas HAM. Konstitusi memberikan
pengaturan dan menentukan fungsi-fungsi lembaga negara agar tidak terjadi
pelanggaran atas HAM. Setidaknya sampai hari ini, belum ada sistem yang
diyakini lebih baik dari demokrasi, terutama dilihat dari caranya menempatkan
atau memposisikan rakyat dalam konteks
bernegara. Demokrasi memposisikan
rakyat secara jelas
pada tempat yang paling menentukan.[14]
Berikut adalah lembaga-lembaga HAM yang ada di Indonesia yaitu; (1), Mahkamah Konstitusi (MK) Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang
terhadap konstitusi atau
dikenal dengan constitutional review.
Pelaksanaannya di Indonesia dan di berbagai negara, uji konstitusionalitas
disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing),bahwa Undang-Undang
yang akan diuji telah
merugikan hak atau wewenag konstitusional pemohon. (2), Komnas HAM
merupakan badan yang ditugaskan meindungi dan memajukan Hak Asasi Manusia pada
level internasional Komnas HAM menjadi mitra kerja Komisi HAM PBB di tingkat
nasional (3),
KPAI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, organisasi yang dibentuk sebagai
respon dari laporan kekerasan yang terjadi terhadap anak di seluruh Indonesia (4), komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,
tujuan dari lembaga ini adalah untuk merespon terjadinya pelanggaran yang dialami
kaum wanita dan Tujuan pembentukan Komisi ini, pertama, mengembangkan
kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia. Kedua, meningkatkan upaya
pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di
Indonesia, (5) KY, Komisi Yudisial, KY berwenang untuk, pertama, mengusulkan
pengangkatan hakim agung kepada DPR. Kedua, menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga prilaku hakim. Pada Pasal 17 ayat 3 dan 4
dinyatakan
bahwa masyarakat berhak memberikan informasi atau pendapat terhadap calon Hakim
Agung, dan tugas KY ialah melakukan penelitian terhadap informasi dan pendapat
yang disampaikan masyarakat.[15]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Uraian di-atas
menjelaskan bagaimana perbedaaan instrumen-instrumen Hak Asasi manusia yang ada
didunia, Indonesia sebagai Negara dengan tingkat pelanggaran HAM terbesar
membutuhkan instrumen sebagai alat yang mengatur dan menindak lanjuti
pelaanggaran-pelanggaran yang terjadi. Instrumen-instrumen HAM internasional
tidak serta merta langsung dijadikan landasan instrument HAM Indonesia
melainkan melalui berbagai proses revisi hingga pada tahap ratifikasi, dengan
sekian banyak Peundang-undangan yang mengatur kepentingan Hak Asasi manusia dinilai sebagai langkah yang cukup
baik namun, itu semua tidak terlepas dari realisasi atau implementasi yang
tanggap terhadap pelanggaran HAM yang terjadi khususnya di Indonesia.
Pembentukan berbagai
lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia adalah satu upaya untuk memonitoring
kekerasan dan pelanggaran yang terjadi dan masing-masing lembaga memiliki tugas
dan fungsi-nya masing-masing sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh
Perundang-undangan. Dengan demikian suasana Negara yang kondusif dan bebas dari
isu-isu SARA akan mudah diwjudkan jika pemerintah dan elemen masyarakat saling
bersinergi didalamnya.
KEPUSTAKAAN
Adnan
Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum-
Kelompok Kerja Ake Arif, 2006.
H.
Muladi, Hak Asasi Manusia Hakikat Konsep dan Impilikasinya dalam Perspektif
Hukum di Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005.
Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak
Asasi Manusia, Yogyakarta: Prima Yasa, 1996, Cet. I
Ramdlon
Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, Depok: Lembaga
Kriminologi UI, 1983.
M.Syafi’e,
“Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM dan Peran
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, No. 4 Vol. 9 Desember 2012
Sri Hastuti
PS, “Perlindungan HAM dalam Empat
Konstitusi di Indonesia”, Jurnal
Magister Hukum No.
1 Vol. 1
Januari 2005, Universitas Islam Indonesia.
Yudha Yudha
Bhakti Ardhiwisasatra, Hukum Internasional-Bunga Rampai, Bandung: Alumni, tt.
Sugiaryo,
“ Ratifikasi Hak Asasi Manusia Internasional dan Ketaatan Suatu Negara dalam
Praktek”, Widya Wacana.
Domu
P. Sihitte, “ Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa ini”, Dignitas: Jurnal
Hak Asasi Manusia, (Lembaga Studi Adokasi Masyarakat, ELSAM), Vol. VII No. 1
Tahun 2011.
[1] Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:
Prima Yasa, 1996, Cet. I), hal. 2
[2] Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia,
(Depok: Lembaga Kriminologi UI, 1983), hal. 8
[3] H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakikat Konsep dan Impilikasinya dalam
Perspektif Hukum di Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 6
[5]Adnan
Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum-
Kelompok Kerja Ake Arif, 2006), hal 10
[6] M.Syafi’e, “Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan
HAM dan Peran Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, No. 4 Vol. 9
Desember 2012, hal. 688
[7] Sri Hastuti PS, “Perlindungan HAM dalam
Empat Konstitusi di
Indonesia”, Jurnal Magister
Hukum No. 1 Vol.
1
Januari 2005, Universitas Islam Indonesia, h.
21-23
[9] Yudha Yudha Bhakti Ardhiwisasatra, Hukum
Internasional-Bunga Rampai, (Bandung: Alumni, tt) hal. 110
[12] Sugiaryo, “ Ratifikasi Hak Asasi Manusia Internasional dan Ketaatan
Suatu Negara dalam Praktek”, Widya Wacana, hal. 124-127
[13] Domu P. Sihitte, “ Komnas HAM dan Tantangannya Dewasa ini”, Dignitas:
Jurnal Hak Asasi Manusia, (Lembaga Studi Adokasi Masyarakat, ELSAM), Vol. VII
No. 1 Tahun 2011, hal 84-87
Komentar
Posting Komentar